Dalam komplek makam Troloyo terdapat
beberapa makam Waliyullah diantaranya Syech Maulana Jumadil Kubro yang
berada di bagian utama makam, Syech Maulana Ibrahim, Syech Maulana
Sekhah dan Syech Abdul Kadir Jailani Assyni yang dikenal dengan makam
Telu, semuanya berada di bagian depan komplek Troloyo, terdapat juga
petilasan Wali Songo yang konon dipergunakan para Wali untuk berembug
dalam proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Sedangkan di bagian
utara Masjid yang berada di komplek makam terdapat makam Syech Ngudung
atau Sunan Ngudung. Bila kita mengunjungi bagian belakang komplek makam
Troloyo akan kita temukan sebuah bangunan dengan kuncup yang didalamnya
terdapat dua makam yaitu makam Raden Ayu Anjasmara dan Ratu
Kencanawungu. Selanjutnya akan kita temukan juga Makam Tujuh atau Makam
Pitu yang dikenal sebagai makam Pangeran Noto Suryo, Patih Noto Kusumo,
Gajah Permodo, Naya Genggong, Sabdo Palon, Emban Kinasih dan Polo Putro.
Ketujuh orang ini merupakan para pejabat di lingkungan kerajaan
Majapahit seperti Patih, Senopati dan Abdi Dalam Kerajaan. Uniknya bila
kita mengunjungi makam Pitu dan mengamati beberapa nisan yang terdapat
pada makam tersebut terdapat bentuk Lengkung Kurawal yang tentunya tidak
asing lagi bagi kesenian Hindu, di padu dan di kombinasikan dengan
bentuk bentuk pahatan pada batu nisan, disini dapat kita artikan bahwa
telah terjadi akulturasi budaya antara budaya lama Hindu dengan
unsur-unsur budaya pendatang Islam.
Keberadaan komplek makam Troloyo yang merupakan makam Islam Kuno
membuktikan bahwa telah ada komunitas muslim yang berada di dalam
Kerajaan Majapahit, hal ini di dukung juga oleh adanya sumber tertulis
berupa Kidung Sunda yang menceritakan adanya sebuah pasukan dari
Kerajaan Sunda yang mengantarkan Puteri Raja Sunda sebagai calon
Permaisuri Raja Hayam Wuruk. Mereka telah masuk ke dalam ibukota
Majapahit, dan berjalan menuju
arah selatan hingga sampai Masjid Agung di daerah Palawiyan, selanjutnya
mereka melanjutkan perjalanan kearah Timur dan ke Selatan lagi.